Sumber-Sumber inspirasi dari sahabat Rasulullah SAW
Umar bin Khattab, yahudi tua, dan sepotong tulang
Adil bagi Semua Golongan
Sejak diangkat menjadi gubernur Mesir oleh Khalifah Umar bin Khattab, Amr
bin Ash menempati sebuah istana megah yang di depannya terhampar sebidang tanah
kosong berawa-rawa, dan diatasnya hanya terdapat gubuk reyot yang hampir roboh.
Selaku gubernur, ia menginginkan agar di atas tanah tersebut, didirikan sebuah
masjid yang indah dan mewah agar seimbang dengan istananya. Apalagi Amr bin Ash
tahu bahwa tanah dan gubuk itu ternyata milik seorang yahudi. Maka yahudi tua
pemilik tanah itu dipanggil menghadap istana untuk merundingkan rencana
Gubernur Amr bin Ash.
“Hei Yahudi, berapa harga jual tanah milikmu sekalian gubuknya? Aku hendak
membangun masjid di atasnya.”
Yahudi itu menggelengkan kepalanya, “Tidak akan saya jual, Tuan.”
“Kubayar tiga kali lipat dari harga biasa?” tanya Gubernur menawarkan
keuntungan yang besar.
“Tetap tidak akan saya jual” jawab si Yahudi.
“Akan kubayar lima kali lipat dibanding harga yang umum!” desak Gubernur.
Yahudi itu mempertegas jawabannya, “Tidak.”
Maka sepeninggal kakek beragama Yahudi itu, Amr bin Ash memutuskan melalui
surat untuk membongkar gubuk reyotnya dan mendirikan masjid besar di atas
tanahnya dengan alasan kepentingan bersama dan memperindah pemandangan mata.
Yahudi pemilik tanah dan gubuk tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tindakan
penguasa. Ia cuma mampu menangis dalam hati. Namun ia tidak putus asa
memperjuangkan haknya. Ia bertekad hendak mengadukan perbuatan gubernur
tersebut kepada atasannya di Madinah, yaitu Khalifah Umar bin Khattab.
Sungguh ia tak menyangka, Khalifah yang namanya sangat tersohor itu tidak
mempunyai istana yang mewah. Ia bahkan diterima Khalifah di halaman masjid
Nabawi, di bawah sebatang pohon kurma yang rindang.
“Ada keperluan apa Tuan datang jauh-jauh kemari dari Mesir?” tanya Khalifah
Umar. Walaupun Yahudi tua itu gemetaran berdiri di depan Khalifah, tetapi
kepala negara yang bertubuh tegap itu menatapnya dengan pandangan sejuk
sehingga dengan lancar ia dapat menyampaikan keperluannya dari semenjak kerja
kerasnya seumur hidup untuk dapat membeli tanah dan gubuk kecil, sampai
perampasan hak miliknya oleh gubernur Amr bin Ash dan dibangunnya masjid megah diatas
tanah miliknya.
Umar bin Khattab mendadak merah padam mukanya. Dengan murka ia berkata,
“Perbuatan Amr bin Ash sudah keterlaluan.” Sesudah agak reda emosinya, Umar
lantas menyuruh Yahudi tersebut mengambil sebatang tulang dari tempat sampah
yang treronggok di dekatnya. Yahudi itu ragu melakukan perintah tersebut.
Apakah ia salah dengar? Oleh sang Khalifah, tulang itu digoreti huruf alif
lurus dari atas ke bawah, lalu dipalang di tengah-tengahnya menggunakan ujung
pedang. Kemudian tulang itu diserahkan kepada si kakek seraya berpesan, “Tuan.
Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir, dan berikanlah pada gubernurku Amr bin
Ash.”
Yahudi itu semakin bertanya-tanya. Ia datang jauh-jauh dari Mesir dengan
tujuan memohonkan keadilan kepada kepala negara, namun apa yang ia peroleh?
Sebuah tulang berbau busuk yang cuma digoret-goret dengan ujung pedang. Apakah
Khalifah Umar tidak waras?
“Maaf, Tuan Khalifah.” ucapnya tidak puas, “Saya datang kemari menuntut
keadilan, namun bukan keadilan yang Tuan berikan. Melainkan sepotong tulang
yang tak berharga. Bukankah ini penghinaan atas diri saya?”
Umar tidak marah. Ia meyakinkan dengan penegasannya, “Hai, kakek Yahudi.
Pada tulang busuk itulah terletak keadilan yang Tuan inginkan.”
Maka, walaupun sambil mendongkol dan mengomel sepanjang jalan, kakek Yahudi
itu lantas berangkat menuju tempat asalnya dengan berbekal sepotong tulang
belikat unta berbau busuk. Anehnya, begitu tulang yang tak bernilai
tersebut diterima oleh gubernur Amr bin Ash, tak disangka mendadak tubuh Amr
bin Ash menggigil dan wajahnya menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Seketika
itupula ia memerintahkan segenap anak buahnya untuk merobohkan masjid yang baru
siap, dan supaya dibangun kembali gubuk milik kakek Yahudi serta menyerahkan
kembali hak atas tanah tersebut.
Anak buah Amr bin Ash sudah berkumpul seluruhnya. Masjid yang telah memakan
dana besar itu hendak dihancurkan. Tiba-tiba kakek Yahudi mendatangi gubernur
Amr bin Ash dengan buru-buru.
“Ada perlu apalagi, Tuan?” tanya Amr bin Ash yang berubah sikap menjadi
lembut dan penuh hormat. Dengan masih terengah-engah, Yahudi itu berkata,
“Maaf, Tuan. Jangan dibongkar dulu masjid itu. Izinkanlah saya menanyakan
perkara pelik yang mengusik rasa penasaran saya.”
“Perkara yang mana?” tanya gubernur tidak mengerti.
“Apa sebabnya Tuan begitu ketakutan dan menyuruh untuk merobohkan masjid
yang dibangun dengan biaya raksasa, hanya lantaran menerima sepotong tulang
dari Khalifah Umar?”
Gubernur Amr bin Ash berkata pelan,”Wahai Kakek Yahudi. ketahuilah, tulang
itu adalah tulang biasa, malah baunya busuk. Tetapi karena dikirimkan Khalifah,
tulang itu menjadi peringatan yang amat tajam dan tegas dengan dituliskannya
huruf alif yang dipalang di tengah-tengahnya.”
“Maksudnya?” tanya si kakek makin keheranan.
“Tulang itu berisi ancaman Khalifah: Amr bin Ash, ingatlah kamu. Siapapun
engkau sekarang, betapapun tingginya pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti
kamu pasti akan berubah menjadi tulang yang busuk. Karena itu, bertindak
adillah kamu seperti huruf alif yang lurus, adil di atas dan di bawah, Sebab,
jika engkau tidak bertindak lurus, kupalang di tengah-tengahmu, kutebas batang
lehermu.”
Yahudi itu menunduk terharu. Ia kagum atas sikap khalifah yang tegas dan
sikap gubernur yang patuh dengan atasannya hanya dengan menerima sepotong
tulang. Benda yang rendah itu berubah menjadi putusan hukum yang keramat dan
ditaati di tangan para penguasa yang beriman. Maka yahudi itu kemudian
menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakaf. Setelah kejadian itu, ia langsung
menyatakan masuk Islam.
sumber : saydha.wordpress.com
sumber : saydha.wordpress.com