Zikir Berjama'ah

DZIKIR BERJAMA`AH BUKANLAH BID`AH !!! 




Kelompok Salafi/Wahabi menganggap Do’a/Dzikir berjama’ah adalah Bid’ah atau Sesat. Namun dari dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits di bawah, pernyataan tersebut tidak berdasar.

Sebagai contoh dalam surat Al Fatihah kita mengucapkan:
Iyyaka NA’budu (Kepada Mu KAMI menyembah/beribadah)
Wa Iyyaka NAsta’iin (Kepada Mu KAMI meminta/berdo’a)
Ayat di atas menunjukkan kata NA (KAMI) yang artinya JAMAK/BANYAK. Bukan sendiri-sendiri. Pada akhir Surat Al Fatihah, seluruh Makmum dari shalat berjama’ah menyatakan “AAMIIIN”.
Ayat-ayat Al Fatihah itu saja sudah jelas menunjukkan bahwa beribadah (termasuk Dzikir dan Do’a) secara berjama’ah itu tidak sesat. Dan pernah dicontohkan Nabi.
Surat Al Fatihah sendiri pada dasarnya adalah Do’a. Contohnya “Ihdinash Shiroothol Mustaqiim” (Tunjuki Kami ke Jalan yang Benar) yang kemudian diaminkan oleh para Makmum. Dengan mengucap Allah sebagai Ar Rahman dan Ar Rahim, pada dasarnya Imam itu berdzikir menyebut nama Allah. Bukankah itu contoh yang jelas?
Banyak ibadah yang dicontohkan Nabi dan para sahabat secara berjama’ah seperti Shalat Wajib Berjama’ah yang pahalanya malah 27 x lipat daripada shalat sendiri. Selain itu juga ada Shalat Tarawih berjama’ah, Shalat ‘Ied, dsb. Bahkan shalat Jum’at tidak sah jika tidak dilakukan secara berjama’ah.
Berbagai do’a dalam Al Qur’an seperti “Robbana Aatina Fid dunya Hasanah..” (Ya Tuhan KAMI berilah KAMI di dunia Kebaikan) menyatakan bahwa do’a-doa tersebut sebaiknya dilaksanakan secara berjama’ah [Al Baqarah 201].

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kamikebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” [Al Baqarah 201]
Lihat ayat Al Qur’an di atas bagaimana orang berdoa secara berjama’ah. Kata siapa beribadah berjama’ah seperti Dzikir itu Bid’ah atau sesat? Hendaknya kita berpegang pada wahyu Allah.
Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajalla Allahu Akbar ‘alaa maa hadaNAA.
“Artinya : Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada KITA”. [Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih]
Kalimat Takbir Ibnu Abbas di atas jelas menunjukkan Takbir tersebut dilakukan berjama’ah. Sebab kalau sendiri tentu kata terakhir jadi hadaNII (Petunjuk yang diberikan kepada saya).
Ada lagi yang berpendapat Dzikir/Takbir dengan suara keras berjama’ah boleh. Tapi tidak boleh satu suara/komando. Kalau satu suara: Bid’ah! Padahal kalau takbir sendiri-sendiri beramai-ramai dengan suara keras, niscaya yang terdengar bukan takbir lagi. Tapi cuma keributan/kegaduhan saja. Bayangkan yang satu baru Allahu Akbar, pada saat yang sama yang lain berkata “Walillahil Hamd”, yang lain lagi beda lagi. Suara yang terdengar akan kacau dan tak beraturan.
Bab 247. Keutamaan Berkumpul Untuk Berdzikir Dan Mengajak Untuk Mengikutinya Dan Larangan Memisahkan Diri Daripadanya Kalau Tanpa Uzur -Halangan-
Allah Ta’ala berfirman: “Dan sabarkanlah dirimu berkumpul bersama orang-orang yang menyeru kepada Tuhan di waktu pagi dan petang. Mereka mengharapkan keridhaanNya dan janganlah engkau menghindarkan pandanganmu dari mereka itu.” (al-Kahf: 21)
1444. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mempunyai beberapa malaikat yang berkeliling di jalan-jalan untuk mencari para ahli dzikir, jikalau mereka menemukan sesuatu kaum yang berdzikir kepada Allah’Azza wajalla lalu mereka memanggil-kawan-kawannya: “Kemarilah, disinilah ada hajatmu -ada yang engkau semua cari-. Mereka lalu berputar disekeliling orang-orang yang berdzikir itu serta menaungi mereka dengan sayap-sayapnya sampai ke langit dunia. Tuhan mereka lalu bertanya kepada mereka, tetapi Tuhan sebenarnya lebih Maha Mengetahui hal itu. Firman Tuhan: “Apakah yang diucapkan oleh hamba-hambaKu itu?” Para malaikat menjawab: “Mereka itu sama memaha sucikan Engkau, memaha besarkan, memuji serta memaha agungkan padaMu -yakni bertasbih, bertakbir, bertahmid dan bertamjid-. Tuhan berfirman lagi: “Adakah mereka itu dapat melihat Aku?” Malaikat menjawab: “Tidak, demi Allah, mereka itu tidak melihat Engkau.” FirmanNya: “Bagaimanakah sekiranya mereka dapat melihat Aku?” Dijawab: “Andaikata mereka melihat Engkau, tentulah mereka akan lebih giat ibadahnya padaMu, lebih sangat memaha agungkan padaMu, juga lebih banyak pula bertasbih padaMu.” FirmanNya: “Apakah yang mereka minta itu?” Dijawab: “Mereka meminta syurga.” FirmanNya: “Adakah mereka pernah melihat syurga?” Dijawab: “Tidak, demi Allah, ya Tuhan, mereka tidak pernah melihat syurga itu.” FirmanNya: “Bagaimanakah andaikata mereka dapat melihatnya?” Dijawab: “Andaikata mereka pernah melihatnya, tentulah mereka akan lebih lobanya pada syurga itu, lebih sangat mencarinya dan lebih besar keinginan mereka pada syurga tadi.” FirmanNya: “Dari apakah mereka memohonkan perlindungan?” Dijawab: “Mereka mohon perlindungan daripada neraka.” FirmanNya: “Adakah mereka pernah melihat neraka itu?” Dijawab: “Tidak, demi Allah mereka tidak pernah melihatnya.” FirmanNya: “Bagaimanakah andaikata mereka pernah melihatnya?” Dijawab: “Andaikata mereka pernah melihatnya, tentulah mereka akan lebih sangat larinya dan lebih sangat takutnya pada neraka itu.” FirmanNya: “Kini Aku hendak mempersaksikan kepadamu semua bahwasanya Aku telah mengampunkan mereka itu.” Nabi s.a.w.bersabda: “Ada salah satu diantara para malaikat itu berkata: “Di kalangan orang-orang yang berdzikir itu ada seorang yang sebenarnya tidak termasuk golongan mereka, sesungguhnya ia datang karena ada sesuatu hajat belaka.” Allah berfirman: “Mereka adalah sekawanan sekedudukan dan tidak akan celakalah orang yang suka menemani mereka itu -yakni orang yang pendatang itupun memperoleh pengampunan pula-.” (Muttafaq ‘alaih) Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mempunyai para malaikat yang berkeliling -di bumi- dan utama-utama keadaannya. Tugas mereka ialah mengikuti majelis-majelis berdzikir. Maka apabila mereka menemukan sesuatu majelis yang berisi dzikir didalamnya, merekapun lalu duduk bersama orang-orang yang berdzikir itu dan saling berputar menaungi mereka dengan sayap-sayapnya antara satu dengan yang lainnya, sehingga memenuhi tempat yang ada diantara mereka dengan langit dunia. Selanjutnya jikalau orang-orang yang berdzikir itu telah berpisah, para malaikat tadi lalu mendaki dan naik ke langit, kemudian Allah ‘Azzawajalla bertanya kepada mereka, tetapi Allah sebenarnya lebih mengetahui tentang hal itu: “Dari manakah engkau semua datang?” Mereka menjawab: “Kita semua baru datang dari hamba-hambaMu yang ada di bumi, mereka itu sama bertasbih, bertakbir, bertahlil, bertahmid serta memohonkan sesuatu padaMu.” FirmanNya: “Apakah yang mereka mohonkan padaKu?” Dijawab: “Mereka mohon akan syurgaMu.” FirmanNya: “Apakah mereka pernah melihat syurgaKu itu?” Dijawab: “Tidak, ya Tuhan.” FirmanNya: “Bagaimana pula sekiranya mereka pernah melihat syurgaKu itu.” Para malaikat berkata lagi: “Mereka itu juga memohonkan perlindungan padaMu.” FirmanNya: “Dari apakah mereka sama memohonkan perlindungan padaKu?” Dijawab: “Dari nerakaMu, ya Tuhan.” FirmanNya: “Apakah mereka pernah melihat nerakaKu itu?” Dijawab: “Tidak pernah.” FirmanNya: “Bagaimana pula sekiranya mereka pernah melihat nerakaKu.” Para malaikat itu berkata lagi: “Mereka juga memohonkan pengampunan daripadaMu.” Allah lalu berfirman: “Sungguh-sungguh Aku telah mengampuni mereka itu, kemudian Aku berikan pula apa-apa yang mereka minta dan Aku berikan perlindungan pula mereka itu dari apa-apa yang mereka mohonkan perlindungannya.” Nabi s.a.w. bersabda: “Para malaikat itu berkata: “Ya Tuhan, di kalangan mereka ada seorang hamba yang banyak sekali kesalahannya, ia hanyalah berjalan saja melalui orang-orang yang berdzikir tadi lalu duduk bersama mereka.” Allah lalu berfirman: “Kepada orang itupun saya berikan pengampunan pula. Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang suka mengawani mereka.”
1445. Dari Abu Hurairah dan dari Abu Said radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tiada sesuatu kaumpun yang duduk-duduk sambil berdzikir kepada Allah, melainkan dikelilingi oleh para malaikat dan ditutupi oleh kerahmatan serta turunlah kepada mereka itu ketenangan -dalam hati mereka- dan Allah mengingatkan mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisinya -yakni disebut-sebutkan hal-ihwal mereka itu di kalangan para malaikat.-” (Riwayat Muslim)
1446. Dari Abu Waqid al-Harits bin ‘Auf r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. pada suatu ketika sedang duduk dalam masjid beserta orang banyak, tiba-tiba ada tiga orang yang datang. Yang dua orang terus menghadap kepada Rasululah s.a.w. sedang yang seorang lagi lalu pergi. Kedua orang itu berdiri di depan Rasulullah s.a.w. Adapun yang seorang, setelah ia melihat ada tempat yang longgar dalam himpunan majelis itu, lalu terus duduk di situ, sedang yang satu lagi duduk di belakang orang banyak, sedangkan orang ketiga terus menyingkir dan pergi. Setelah Rasulullah s.a.w. selesai -dalam mengamat-amati tiga orang tadi- lalu bersabda: “Tidakkah engkau semua suka kalau saya memberitahukan perihal tiga orang ini? Adapun yang seorang -yang melihat ada tempat longgar terus duduk di situ-, maka ia menempatkan dirinya kepada Allah, kemudian Allah memberikan tempat padanya. Adapun yang lainnya -yang duduk di belakang orang banyak-, ia adalah malu -untuk berdesak-desakan dan sikap ini terpuji-, maka Allah pun malu padanya, sedangkan yang seorang lagi -yang terus menyingkir-, ia memalingkan diri, maka Allah juga berpaling dari orang itu.” (Muttafaq ‘alaih)
1447. Dari Abu Said al-Khudri r.a., katanya: “Mu’awiyah r.a. keluar menuju suatu golongan yang berhimpun dalam masjid, lalu ia berkata: “Apakah yang menyebabkan engkau semua duduk ini?” Orang-orang menjawab: “Kita duduk untuk berdzikir kepada Allah.” Ia berkata lagi: “Apakah, demi Allah, tidak ada yang menyebabkan engkau semua duduk ini melainkan karena berdzikir kepada Allah saja?” Mereka menjawab: “Ya, tidak ada yang menyebabkan kita semua duduk ini, kecuali untuk itu.” Mu’awiyah lalu berkata: “Sebenarnya saya bukannya meminta sumpah dari engkau semua itu karena sesuatu dugaan yang meragukan terhadap dirimu semua dan tiada seorangpun yang sebagaimana kedudukan saya ini dari Rasulullah s.a.w. yang lebih sedikit Hadisnya daripada saya sendiri -karena sangat berhati-hatinya meriwayatkan Hadis-. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pada suatu ketika keluar menuju suatu golongan yang berhimpun dari kalangan sahabat-sahabatnya, lalu beliau s.a.w. bersabda: “Apakah yang menyebabkan engkau semua duduk ini?” Para sahabat menjawab: “Kita duduk untuk berdzikir kepada Allah, juga memuji padaNya karena telah menunjukkan kita semua kepada Agama Islam dan mengaruniakan kenikmatan Islam itu pada kita.” Beliau s.a.w. bersabda lagi: “Apakah, demi Allah, tidak menyebabkan engkau semua duduk ini melainkan karena itu?” Sesungguhnya saya bukannya meminta sumpah dari engkau semua itu karena sesuatu dugaan yang meragukan terhadap dirimu semua, tetapi Jibril datang padaku dan memberitahukan bahwasanya Allah merasa bangga dengan engkau semua itu kepada malaikat -yakni kebanggaanNya itu ditunjukkan kepada para malaikat-.” (Riwayat Muslim)

DZIKIR BERJAMA`AH BUKANLAH BID`AH !!!


DALIL-DALILNYA DZIKIR, TERMASUK DALIL DZIKIR SECARA JAHAR

Dalil-dalil dzikir termasuk  dalil dzikir secara jahar (agak keras)

 Firman Allah swt. dalam surat Al-Ahzab 41-42 agar kita banyak berdzikir sebagai berikut : 

 “Hai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah kamu pada Allah sebanyak-banyak nya, dan bertasbihlah pada-Nya diwaktu pagi maupun petang!”.    

 Dan firman-Nya:                         فَاذْكُرُونِي أذْكُرْكُمْ ...........      

 “Berdzikirlah (Ingatlah) kamu pada-Ku, niscaya Aku akan ingat pula padamu! ” (Al--Baqarah :152)  

 Firman-Nya :                             اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنوُبِهِم

 “...Yakni orang-orang dzikir pada Allah baik diwaktu berdiri, ketika duduk dan diwaktu berbaring”.  (Ali Imran :191)

 Firman-Nya :                           وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ

                                                                    مَغْفِرَة وَأجْرًا عَظِيْمٌا.         

 “Dan terhadap orang-orang yang banyak dzikir pada Allah, baik laki-laki maupun wanita, Allah menyediakan keampunan dan pahala besar”.   (Al-Ahzab :35)

 Firman-Nya lagi :                                    الَّذِيْنَ آمَنُوا وَ تَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ
                        ألآ بِذِكْرِ الله تَطْمَئِنُّ الـقُلُوبُ.                                        
 “Yaitu orang-orang yang beriman, dan hati mereka aman tenteram dengan dzikir pada Allah. Ingatlah dengan dzikir pada Allah itu, maka hatipun akan merasa aman dan tenteram”.     (Ar-Ro’d : 28)





Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah, Rasul saw. bersabda : Allah swt.berfirman :   

 اَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْـدِي بِي, وَاَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكـرُنِي, فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْهُ وَإنِ اقْتَرَبَ اِلَيَّ شِبْرًا اتَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِرَاعًا وَإنِ اقْتَرَبَ إلَيَّ ذِرَاعًا اتَقـَرَّبْتُ إلَيْهِ بَاعًـا وَإنْ أتَانِيْ يَمْشِيأتَيْتُهُ هَرْوَلَة.     

“Aku ini menurut prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan ingat pula padanya dalam hati-Ku, jika ia mengingat-Ku didepan umum, maka Aku akan mengingatnya pula didepan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sehasta, jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari”. (HR. Bukhori  Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi).

 Allamah Al-Jazari dalam kitabnya Miftaahul Hishnil Hashin berkata : ‘Hadits diatas ini terdapat dalil tentang bolehnya berdzikir dengan jahar/agak keras’. Imam Suyuthi juga berkata:  ‘Dzikir dihadapan orang orang tentulah dzikir dengan jahar, maka hadits itulah yang menjadi dalil atas bolehnya’

 Hadits qudsi dari Mu’az bin Anas secara marfu’: Allah swt.berfirman:

 قَالَ اللهُ تَعَالَى: لاَ يَذْكُرُنِي اَحَدٌ فِى نفْسِهِ اِلاَّ ذَكّرْتُهُ فِي مَلاٍ مِنْ مَلاَئِكَتِي                                     

                                                                             وَلاَيَذْكُرُنِي فِي مَلاٍ اِلاَّ ذَكَرْتُهُ فِي المَلاِ الاَعْلَي.

 “Tidaklah seseorang berdzikir pada-Ku dalam hatinya kecuali Akupun akan berdzikir untuknya dihadapan para malaikat-Ku. Dan tidak juga seseorang berdzikir pada-Ku dihadapan orang-orang kecuali Akupun akan berdzikir untuknya ditempat yang tertinggi’ “.  (HR. Thabrani).



At-Targib wat-tarhib 3/202 dan Majma’uz Zawaid 10/78. Al Mundziri berkata : ‘Isnad hadits diatas ini baik (hasan). Sama seperti pengambilan dalil yang pertama bahwa berdzikir dihadapan orang-orang maksudnya adalah berdzikir secara jahar ’ !

 Hadits dari Abu Hurairah sebagai berikut:

 سَبَقَ المُفَرِّقُونَ, قاَلُوْا: وَمَا المُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللهَ كَثِيْرًاوَالذَّاكِرَاتِ (رواه المسلم)

 “Telah majulah orang-orang istimewa! Tanya mereka ‘Siapakah orang-orang istimewa?’ Ujar Nabi saw. ‘Mereka ialah orang-orang yang berdzikir baik laki-laki maupun wanita’ ”. (HR. Muslim).



 Hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary ra  sabda Rasul saw.:

 ‘Perumpamaan orang-orang yang dzikir pada Allah dengan yang tidak, adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati!” (HR.Bukhori).                               

 Dalam riwayat Muslim: “Perumpamaan perbedaan antara rumah yang dipergunakan dzikir kepada Allah didalamnya dengan rumah yang tidak ada dzikrullah didalamnya, bagaikan perbedaan antara hidup dengan mati”.

 Hadits dari Abu Sa’id Khudri dan Abu Hurairah ra. bahwa mereka mendengar sendiri dari Nabi saw. bersabda : 

 لاَ يَقْـعُدُ قَوْمٌ يَذْكُـرُنَ اللهَ تَعَالَى إلاَّ حَفَّتْـهُمُ المَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمةُ, وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.

 “Tidak satu kaumpun yang duduk dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan dikelilingi Malaikat, akan diliputi oleh rahmat, akan beroleh ketenangan, dan akan disebut-sebut oleh Allah pada siapa-siapa yang berada disisi-Nya”. (HR.Muslim, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi).

 Hadits dari Mu’awiyah :  

 خَرَجَ رَسُولُ الله (صَ) عَلَى حَلَقَةِ مِنْ أصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا اَجْلََسَكُم ؟ قَالُوْا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإسْلاَمِِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ: اللهُ مَا أجْلَسـَكُمْ إلاَّ ذَالِك ؟ قَالُوْا وَاللهُ مَا اَجْلَسَنَا اِلاَّ ذَاكَ. قَالَ : اَمَا إنِّي لَمْ أسْتَخْلِفكُم تُهْمَةُ لـَكُمْ, وَلَكِنَّهُ أتَانِي جِبْرِيْلُ فَأخْـبَرَنِي أنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبـَاهِي بِكُمُ المَلآئِكَةَ.                             

“Nabi saw. pergi mendapatkan satu lingkaran dari sahabat-sahabatnya, tanyanya  ‘Mengapa kamu duduk disini?’ Ujar mereka : ‘Maksud kami duduk disini adalah untuk dzikir pada Allah Ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk dan kurnia yang telah diberikan-Nya pada kami dengan menganut agama Islam’. Sabda Nabi saw.  ‘Demi Allah tak salah sekali !  Kalian duduk hanyalah karena itu. Mereka berkata : Demi Allah kami duduk karena itu. Dan saya, saya tidaklah minta kalian bersumpah karena menaruh curiga pada kalian, tetapi sebetulnya Jibril telah datang dan menyampaikan bahwa Allah swt. telah membanggakan kalian terhadap Malaikat’ “. (HR.Muslim)

 Diterima dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw. bersabda :

 إذَا مَرَرْتُم بِرِيَاضِ الجَنَّة فَارْتَعُوْا, قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّة يَا رَسُولُ الله ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ فَإنَّ لِلَّهِ تَعَالَى سَيَّرَاتٍ مِنَ المَلآئِكَةَ يَطْلُبُونَ حِلَـقَ الذِّكْرِ فَإذَا أتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوبِهِمْ.                                                                                   
 “Jika kamu lewat di taman-taman surga, hendaklah kamu ikut bercengkerama! Tanya mereka : Apakah itu taman-taman surga ya Rasulallah? Ujar Nabi saw. : Ialah lingkaran-lingkaran dzikir karena Allah swt. mempunyai rombongan pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran dzikir. Maka jika ketemu dengannya mereka akan duduk mengelilinginya”.
 Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw.bersabda :                   
 عَنْ أبِيْ هُرَيْرَة(ر) قَالَ: رَسُولُ الل.صَ. : إنَّ اللهَ مَلآئِكَةً يَطًوفُونَ فِي الطُُّرُقِ يَلتَمِسُونَ أهْلِ الذّكْرِ, فَإذَا وَجَدُوا قـَوْمًا يَذْكُرُونَ اللهَ تَناَدَوْا : هَلُمُّـوْا إلَى حَاجَتِكُمْ, فَيَحُفّـُونَهُمْ بِأجْنِحَتِهِمْ إلَى السَّمَاءِ, فَإذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوْا اِلَى السَّمَاءِ فَيَسْألُهُمْ رَبُّـهُم ( وَهُوَ أعْلَمُ  بِهِمْ ) مِنْ اَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبَيْدٍ فِي الاَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ. فَيَقُوْلُ : هَلْ رَأوْنِي؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : لَوْ رَأوْنِي؟ فَيَقوُلُوْنَ : لَوْ رَأوْكَ كَانُوْا اَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً, وَ اَشَدَّ لَكَ تَمْجِيْدًا وَاَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيْحًا, فَيَقُوْلُ : فَمَا يَسْألُنِى ؟ فَيَقوُلُوْنَ : يَسْألُوْنَكَ الجَنَّةَ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لَوْ اَنَّهُمْ رَأوْهَا كَانُوْا اَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَ اَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَاَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. فَيَقُوْلُ : فَمِمَّا يَتَعَوَّذُوْنَ ؟ فَيَقولُوْنَ : مِنَ النَّارِ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُلُوْنَ : لَوْ رَأوْهَا كاَنُوْا اَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا, فَيَقُوْلُ : اُشْهِدُكُمْ اَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ, فَيَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِكَةِ : فُلاَنٌ فَلَيْسَ مِنهُمْ, اِنَّمَا جَائَهُمْ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُ : هًمْ قَوْمٌ لاَ يَشْقَى جَلِيْسُهُمْ.  
  “Sesungguhnya Allah memilik sekelompok Malaikat yang berkeling dijalan-jalan sambil mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka menemu- kan sekolompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling menyeru :'Kemarilah kepada apa yang kamu semua hajatkan'. Lalu mereka mengelilingi orang-orang yang berdzikir itu dengan sayap-sayap mereka hingga kelangit. Apabila orang-orang itu telah berpisah (bubar dari majlis dzikir) maka para malaikat tersebut berpaling dan naik kelangit. Maka bertanyalah Allah swt. kepada mereka (padahal Dialah yan lebih mengetahui perihal mereka). Allah berfirman : Darimana kalian semua ? Malaikat berkata : Kami datang dari sekelompok hambaMu dibumi. Mereka bertasbih, bertakbir dan bertahlil kepadaMu. Allah berfirman : Apakah mereka pernah melihatKu ? Malaikat berkata: Tidak pernah ! Allah berfirman : Seandainya mereka pernah melihatKu ? Malaikat berkata: Andai mereka pernah melihatMu niscaya mereka akan lebih meningkatkan ibadahnya kepadaMu, lebih bersemangat memujiMu dan lebih banyak bertasbih padaMu. Allah berfirman: Lalu apa yang mereka pinta padaKu ? Malaikat berkata: Mereka minta sorga kepadaMu. Allah berfirman : Apa mereka pernah melihat sorga ? Malaikat berkata : Tidak pernah! Allah berfirman: Bagaimana kalau mereka pernah melihatnya? Malikat berkata: Andai mereka pernah melihanya niscaya mereka akan bertambah semangat terhadapnya, lebih bergairah memintanya dan semakin besar keinginan untuk memasukinya. Allah berfirman: Dari hal apa mereka minta perlindungan ? Malaikat berkata: Dari api neraka. Allah berfirman : Apa mereka pernah melihat neraka ? Malaikat berkata: Tidak pernah! Allah berfirman: Bagaimana kalau mereka pernah melihat neraka ? Malaikat berkata: Kalau mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan sekuat tenaga menghindarkan diri darinya. Allah berfirman: Aku persaksikan kepadamu bahwasanya Aku telah mengampuni mereka. Salah satu dari malaikat berkata : Disitu ada seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok mereka. Dia datang semata-mata karena ada satu keperluan (apakah mereka akan diampuni juga ?). Allah berfirman : Mereka (termasuk seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk bersama mereka tidak akan kecewa".   
Dalam riwayat Muslim ada tambahan pada kalimat terakhir : 'Aku ampunkan segala dosa mereka, dan Aku beri permintaan mereka'.
 Empat hadits terakhir ini jelas menunjukkan keutamaan kumpulan majlis dzikir, Allah swt.akan melimpahkan rahmat, ketenangan dan ridho-Nya pada para hadirin termasuk disini orang yang tidak niat untuk berdzikir serta majlis seperti itulah yang sering dicari dan dihadiri oleh para malaikat. Alangkah bahagianya bila kita selalu kumpul bersama majlis-majlis dzikir yang dihadiri oleh malaikat tersebut sehingga do’a yang dibaca ditempat majlis dzikir tersebut lebih besar harapan untuk diterima oleh Allah swt. Juga hadits-hadits tersebut menunjukkan mereka berkumpul berdzikir secara jahar, karena berdzikir secara sirran/pelahan sudah biasa dilakukan oleh perorangan !
  Al-Baihaqiy meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik ra bahwa Rasul- Allah saw. bersabda:   
 لاَنْ اَقْعُدَنَّ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى مِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْفَجْرِ ِالَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ اَحَبُّاِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا (رواه البيهاقي)     
 “Sungguhlah aku berdzikir menyebut (mengingat) Allah swt. bersama jamaah usai sholat Shubuh hingga matahari terbit, itu lebih kusukai daripada dunia seisinya.”
 Juga dari Anas bin Malik ra riwayat Abu Daud dan Al-Baihaqiy bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Sungguhlah aku duduk bersama jamaah berdzikir menyebut Allah swt. dari salat ‘ashar hingga matahari terbenam, itu lebih kusukai daripada memerdekakan empat orang budak.’
 Riwayat Al Baihaqy dari Abu Sa’id Al Khudrij ra, Rasul saw bersabda :      
 يَقُوْلُ الرَّبُّ جَلَّ وَعَلاَ يَوْمَ القِيَامَةِ سَيَعْلَمُ هَؤُلاَءِ الْجَمْعَ الْيَوْمَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ فَقِيْلَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ قَالَ : اَهْلُ مَجَالِسِ الذِّكْرِ فِي الْمَسَاجِدِ (رواه البيهاقي)  
 “Allah jalla wa ‘Ala pada hari kiamat kelak akan bersabda: ’Pada hari ini ahlul jam’i akan mengetahui siapa orang ahlul karam (orang yang mulia). Ada yg bertanya: Siapakah orang-orang yg mulia itu? Allah menjawab, Mereka adalah orang-orang peserta majlis-majlis dzikir di masjid-masjid ”.
 Ancaman bagi orang yang menghadiri kumpulan tanpa disebut nama Allahdan Shalawat atas Nabi saw.  Hadits riwayat Turmudzi (yang menyatakan Hasan) dari Abu Hurairah, sabda Nabi saw :  
مَا قَعَدَ قَوْمُ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُونَ اللهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى النَّبِيِّ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الترمذي وقال حسن)                                      
  “Tiada suatu golonganpun yang duduk menghadiri suatu majlis tapi mereka disana tidak dzikir pada Allah swt. dan tak mengucapkan shalawat atas Nabi saw., kecuali mereka akan mendapat kekecewaan di hari kiamat”.



 Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan kata-katanya yang berbunyi sebagai berikut :

             وَرَوَاهُ اَحْمَدُ بِلَفْظٍ مَا جَلَسَ قَوْمُ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ فِيهِ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تَرَةً   

 ‘Tiada ampunan yang menghadiri suatu majlis tanpa adanya dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan mendapat tiratun artinya kesulitan... “.

 Dalam buku Fathul ‘Alam tertera : Hadits tersebut diatas menjadi alasan atas wajibnya (pentingnya) berdzikir dan membaca shalawat atas Nabi saw. pada setiap majlis.

  Hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda:       

  .صَ. مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ                                                          قَالَ رَسُوْلَ اللهِ                         

          لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فِيْهِ اِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً  (رواه  ابو داود    

 “Tiada suatu kaum yang bangun (bubaran) dari suatu majlis dimana mereka tidak berdzikir kepada Allah dalam majlis itu, melainkan mereka bangun dari sesuatu yang serupa dengan bangkai himar/keledai, dan akan menjadi penyesalan mereka kelak dihari kiamat ”.    (HR.Abu Daud)

 Hadits-hadits diatas mengenai kumpulan atau lingkaran majlis dzikir itu sudah jelas menunjukkan adanya pembacaan dzikir bersama-sama dengan secara jahar, karena berdzikir sendiri-sendiri itu akan dilakukan secara lirih (pelan). Lebih jelasnya mari kita rujuk lagi hadits shohih yang membolehkan dzikir secara jahar.

 Hadits dari Abi Sa’id Al-Khudri ra. dia berkata :

                                                             اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولُ اِنَّهُ مَجْنُوْنٌ.
 “Sabda Rasulallah saw.  ‘Perbanyaklah dzikir kepada Allah sehingga mereka (yang melihat dan mendengar) akan berkata : Sesungguhnya dia orang gila’ "  (HR..Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman , Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnus Sunni)
 Hadits dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Rasulallah saw. bersabda :
                                       اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولَ المُنَافِقُوْنَ اِنَّكُمْ تُرَاؤُوْنَ                         
“Banyak banyaklah kalian berdzikir kepada Allah sehingga orang-orang munafik akan berkata : ’Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang riya’ (HR. Thabrani)



Imam Suyuthi dalam kitabnya Natiijatul Fikri fil jahri biz dzikri berkata : “Bentuk istidlal dengan dua hadits terakhir diatas ini adalah bahwasanya ucapan dengan ‘Dia itu gila’ dan ‘Kamu itu riya’ hanyalah dikatakan terhadap orang-orang yang berdzikir dengan jahar, bukan dengan lirih (sir).”

 Hadits dari Zaid bin Aslam dari sebagian sahabat, dia berkata :

 ِ اِنْطَلَقْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ(صَ) لَيْلَةً, فَمَرَّ بِرَجُلٍ فِي المَسْجِدِ يِرْفَعُ صَوْتَهُ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ عَسَى اَنْ يَكُوْنَ هَذَا مُرَائِيًا فَقَالَ: لاَ وَلاَكِنَّهُ اَوَّاهُ. (رواه البيهاقي)

 ‘Aku pernah berjalan dengan Rasulallah saw. disuatu malam. Lalu beliau melewati seorang lelaki yang sedang meninggikan suaranya disebuah masjid. Akupun berkata : Wahai Rasuallah, jangan-jangan orang ini sedang riya’. Beliau berkata : “Tidak ! Akan tetapi dia itu seorang awwah (yang banyak mengadu kepada Allah)”.   (HR.Baihaqi)   

 Lihat hadits ini Rasul saw. tidak melarang orang yang dimasjid yang sedang berdzikir secara jahar (agak keras). Malah beliau saw. mengatakan dia adalah seorang yang banyak mengadu pada Allah (beriba hati dan menyesali dosanya pada Allah swt.) Sifat menyesali kesalahan pada Allah swt itu adalah sifat yang paling baik !

 Hadits dari Uqbah bahwasanya Rasulallah saw. pernah berkata kepada seorang lelaki yang biasa dipanggil Zul Bijaadain   ‘Sesungguhnya dia orang yang banyak mengadu kepada Allah. Yang demikian itu karena dia sering berdzikir kepada Allah’. (HR.Baihaqi). (Julukan seperti ini jelas menunjukkan bahwa Zul- Bijaadain sering berdzikir secara jahar).                                  

 Hadits dari Amar bin Dinar, dia berkata : Aku dikabarkan oleh Abu Ma’bad bekas budak Ibnu Abbas yang paling jujur dari tuannya yakni Ibnu Abbas dimana beliau berkata : 

 اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ

 ‘Sesungguhnya berdzikir dengan mengeraskan suara ketika orang selesai melakukan shalat fardhu pernah terjadi dimasa Rasulallah saw.’.(HR.Bukhori dan Muslim)

 Dalam riwayat yang lain diterangkan bahwa Ibnu Abbas berkata : ‘Aku mengetahui selesainya shalat Rasulallah saw. dengan adanya ucapan takbir beliau (yakni ketika berdzikir)’.  (HR.Bukhori Muslim)

 Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatawa mengatakan: “Wirid-wirid, bacaan-bacaan secara jahar, yang dibaca oleh kaum Sufi (para penghayat ilmu tasawwuf) setelah sholat menurut kebiasaan dan suluh (amalan-amalan khusus yang ditempuh kaum Sufi) sungguh mempunyai akar/dalil yang sangat kuat”.



Sedangkan hadits-hadits Rasul saw. yang diriwayatkan oleh  Muslim mengenai berdzikir secara jahar selesai sholat sebagai berikut :

 Hadits nr. 357: Dari Ibnu Abbas, katanya: "Dahulu kami mengetahui selesainya sembahyang Rasulullah saw. dengan ucapan beliau "takbir".

 Hadits nr. 358 : Dari Ibnu Abbas, katanya "Bahwa dzikr dengan suara lantang/agak keras setelah selesai sembahyang adalah kebiasaaan dizaman Nabi saw.  Kata Ibnu Abbas. Jika telah kudengar suara berdzikir, tahulah saya bahwa orang telah bubar sembahyang".

 Hadits nr. 366: Dari Abu Zubair katanya: "Adalah Abdullah bin Zubair mengucapkan pada tiap-tiap selesai sembahyang sesudah memberi salam:...." Kata Abdullah bin Zubair" Adalah Rasulullah saw. Mengucapkannya dengan suara yang lantang tiap-tiap selesai sembahyang"

 Ketiga hadits terakhir ini dikutip dari kitab "Terjemahan hadits Shahih Muslim" jilid I, II dan III terbitan Pustaka Al Husna, I/39 Kebon Sirih Barat, Jakarta, 1980.

 Al-Imam al-Hafidz Al-Maqdisiy dalam kitabnya ‘Al-Umdah Fi Al-Ahkaam’  hal.25 berkata:

 “Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa berdzikir dengan meng- angkat suara dikala para jemaah selesai dari sembahyang fardhu adalah diamalkan sentiasa dizaman Rasullullah saw.. Ibnu Abbas berkata "Saya memang mengetahui keadaan selesainya Nabi saw. dari sembahyangnya (ialah dengan sebab saya mendengar) suara takbir (yang disuarakan dengan nyaring)." (HR Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Juraij).

 Hadits yang sama dikemukakan juga oleh Imam Abd Wahab Asy-Sya'rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah hal.110; demikian juga Imam Al-Kasymiriy dalam kitabnya Fathul Baari hal. 315 dan As-Sayyid Muhammad Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya Nuzul Al-Abrar hal.97; Imam Al-Baghawiy dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah 1/48 dan Imam as-Syaukani dalam Nail al-Autar.

 Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Abbas ra beliau berkata : ‘Kami tidak mengetahui selesainya shalat orang-orang di masa Rasulallah saw. kecuali dengan berdzikir secara jahar’.

 Dan masih banyak lagi dalil mengenai keutamaan kumpulan berdzikir yang belum saya cantumkan disini tapi insya Allah dengan adanya semua hadits diatas cukup jelas bagi kita dan bisa ambil kesimpulan bahwa (kumpulan) berdzikir baik dengan lirih maupun jahar/agak keras itu tidaklah dimakruhkan atau dilarang bahkan didalamnya justru terdapat dalil yang menunjukkan ‘kebolehannya’, atau ‘kesunnahannya’.




Demikian juga dzikir dengan jahar itu dapat menggugah semangat dan melembutkan hati, menghilangkan ngantuk, sesuatu yang tidak akan didapatkan pada dzikir secara lirih (sir). Dan diantara yang membolehkan lagi dzikir jahar ini adalah ulama mutaakhhirin terkemuka Al-‘Allaamah Khairuddin ar-Ramli dalam risalahnya yang berjudul Taushiilul murid ilal murood bibayaani ahkaamil ahzaab wal-aurood mengatakan sebagai berikut : “Jahar dengan dzikir dan tilawah, begitu juga berkumpul untuk berdzikir baik itu di majlis ataupun di masjid adalah sesuatu yang dibolehkan dan disyari’atkan ber- dasarkan hadits Nabi saw : ‘Barangsiapa berdzikir kepadaKu dihadapan orang orang, maka Akupun akan berdzikir untuknya dihadapan orang-orang yang lebih baik darinya’ dan firman Allah swt. ‘Seperti dzikirmu terhadap nenek-moyangmu atau dzikir yang lebih mantap lagi’ (Al-Baqoroh: 200) bisa juga dijadikan sebagai dalilnya. “

 Agama hanya memakruhkan dzikir jahar yang keterlaluan begitu juga jahar yang tidak keterlaluan bila sampai mengganggu orang yang sedang tidur atau sedang shalat atau menyebabkan dirinya riya’ serta mensyariatkan/mewajibkan dzikir jahar ini. Berapa banyak perkara yang sebenarnya mubah tapi karena diwajibkan pelaksanaanya dengan cara-cara tertentu padahal agama tidak mengajarkan demikian, maka ia akan berubah menjadi makruh sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qori’ dalam Syarhul Miskat, Al-Hashkafi dalam Ad- Durrul Mukhtar dan beberapa ulama lainnya.

 Kalau kita baca ayat-ayat al-Quran dan hadits diatas mengenai kumpulan dzikir dan pendapat ulama yang membolehkan dzikir secara jahar dengan berdalil pada hadits-hadits tersebut, bagaimana saudara kita yang tidak senang menghadiri majlis dzikir berani mencela dan mensesatkan majlis pembacaan tahlil/yasinan dan sebagainya yang mana disitu selalu dibacakan firman-firman Ilahi diantaranya; surat Yaasin, surat Al-Fatihah, sholawat pada Nabi saw. juga pembacaan Tasbih, Takbir dan lain sebagainya serta mendo’akan saudara muslimin baik yang masih hidup atau yang sudah wafat. Bacaan yang dibaca ini semuanya ini berdasarkan hadits Nabi saw. dan mendapat pahala bagi si pembaca dan pendengar serta tidak ada dalil yang melarang/ mengharamkannya ?

 Memang ada hadits riwayat Baihaqi, Ibnu Majah dan Ahmad. : “Sebaik-baik dzikir adalah secara lirih (sir) dan sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi  ”. Menurut ulama’ diantaranya Imam as-Suyuthi, kata-kata Sebaik-baik dalam suatu hadits berarti Keutamaan bukan Yang lebih utama.  Jadi hadits terakhir diatas ini bukan menunjukkan kepada jeleknya  atau dilarangnya dzikir secara jahar, karena banyak riwayat hadits shohih yang mengarah pada bolehnya dzikir secara jahar.

 Mari kita baca lagi perincian berdzikir dengan jahar yang lebih jelas menurut pendapat Imam Suyuthi dan lainnya.

 Imam As Suyuthi didalam Natijatul /fikri Jahri Bidz Dzikri, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya mengenai tokoh Sufi yang membentuk kelompok-kelompok dzikir dengan suara agak keras, apakah itu merupakan perbuatan makruh atau tidak ? Jawab beliau: Itu tidak ada buruknya (tidak makruh)! Ada hadits yang menganjurkan dzikir dengan suara agak keras (jahran) dan ada pula menganjurkan dengan suara pelan (sirran). Penyatuan dua macam hadits ini yang tampaknya berlawanan, semua tidak lain tergantung pada keada- an tempat dan pribadi orang yang akan melakukan itu sendiri.

 Dengan merinci manfaat membaca Al-Qur’an dan berdzikir secara jahran dan sirran itu Imam Suyuthi berhasil menyerasikan dua hal ini kedalam suatu pengertian yang benar mengenai hadits-hadits terkait. Jika anda berkata bahwa Allah swt. telah berfirman:                                                           

 وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُضُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.      

 ‘Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati dengan merendahkan diri disertai perasaan dan tanpa mengeraskan suara’. (Al A’raf:205). Itu dapat saya (Imam Suyuthi) jawab dari tiga sisi:

1.                         Ayat diatas ini adalah ayat Makkiyah ( turun di Mekkah sebelum hijrah). Masa turun ayat (Al A’raf 205) ini berdekatan dengan masa turunnya ayat berikut ini :

                              وَلاَ تَجْهَرْ بصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً                                               
 ‘Dan janganlah engkau (hai Nabi) mengeraskan suaramu diwaktu sholat, dan jangan pula engkau melirihkannya……..’    (Al Isra’:110).
 Ayat itu (Al A’raf :205) turun pada saat Nabi saw. sholat dengan suara agak keras (jahran), kemudian didengar oleh kaum musyrikin Quraisy, lalu mereka memaki Al Qur’an dan yang menurunkannya (Allah swt). Karena itulah beliau saw. diperintah meninggalkan cara jahar guna mencegah terjadinya kemungkinan yang buruk (saddudz-dzari’ah). Makna ini hilang setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah dan kaum Muslimin mempunyai kekuatan untuk mematahkan permusuhan kaum musyrikin. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
 2.      Jama’ah ahli tafsir (Jama’atul Mufassirin), diantaranya Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan Ibnu Jarir, menerapkan makna ayat diatas tentang dzikir pada masalah membaca Al-Quran. Nabi saw menerima perintah jahran membaca Al-Quran sebagai pemuliaan (ta’dziman) terhadap Kitabullah tersebut., khususnya diwaktu sholat tertentu. Hal itu diperkuat kaitannya dengan turunnya ayat: ‘Apabila Al-Qur’an sedang dibaca maka hendaklah kalian mendengarkan- nya...’ (Al A’raf:204). Dengan turunnya perintah ‘mendengarkan’ maka orang yang mendengar Al-Quran yang sedang dibaca, jika ia (orang yang beriman) tentu takut dalam perbuatan dosa. Selain itu ayat tersebut juga menganjurkan diam (tidak bicara) tetapi kesadaran berdzikir dihati tidak boleh berubah, dengan demikian orang tidak lengah meninggalkan dzikir (menyebut) nama Allah. Karena ayat tersebut diakhiri dengan: ‘Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai’.



3.    Orang-orang Sufi mengatakan berdzikir sirran (lirih) itu hanya khusus dapat dilakukan dengan sempurna oleh Rasulullah saw. karena manusia yang disempurnakan oleh Allah swt. Manusia-manusia selain beliau saw. sangat repot sekali melakukan dengan sempurna sering diikuti was-was, penuh ber- bagai angan-angan perasaan, karena itulah mereka disuruh berdzikir secara agak keras/jahran. Dzikir jahran semua was-was, angan-angan dan perasaan lebih mudah dihilangkan, serta akan mengusir setan-setan jahat.

 Pendapat demikian ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diketengah- kan oleh Al- Bazzar dari Mu’adz bin Jabal ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:

‘Barangsiapa diantara kamu sholat diwaktu malam hendaklah bacaannya diucapkan  dengan jahran (agak keras). Sebab para malaikat turut sholat seperti sholat yang dilakukannya, dan mendengarkan bacaan-bacaan sholat- nya. Jin-jin beriman yang berada di antariksa dan tetangga yg serumah dengannya, merekapun sholat seperti yang dilakukannya dan mendengarkan bacaan-bacaannya. Sholat dengan bacaan keras akan mengusir Jin-jin durhaka dan setan-setan jahat’.  Demikianlah pendapat Imam Suyuthi.

 Pendapat Ibnu Taimiyyah yang dijuluki Syaikhul Islam oleh sebagian ulama mengenai majlis dzikir didalam kitab Majmu 'al fatawa  edisi King Khalid ibn 'Abd al-Aziz. Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir, membaca al-Qur’an berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun membanggakan diri tetapi hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab: ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari'a (mustahab) untuk berkumpul dan membaca al-Quran dan berdzikir serta berdo’a....’ "

 Jawaban pertanyaan Ibnu Taimiyyah mengenai kelompok-kelompok dzikir dimasjid-masjid yang dilakukan kaum Sufi Syadziliyyah. Ibnu Hajr mengatakan bahwa pembentukan jamaah-jamaah seperti itu adalah sunnah, tidak ada alasan untuk menyalah-nyalahkannya. Sebab berkumpul untuk berdzikir telah diungkapkan pada hadits Qudsi Shohih:  ‘Tiap hambaKu yang menyebutKu di tengah sejumlah orang, ia pasti Kusebut (amal kebaikannya) di tengah jamaah yang lebih baik’.

 Dengan kumpulnya orang bersama untuk berdzikir ini sudah tentu menunjukkan dzikir tersebut  dengan suara yang bisa didengar sesamanya (agak keras). Bila tidak demikian, apa keistimewaan hadits tentang kumpulan (halaqat) dzikir yang dibanggakan oleh Malaikat dan Rasul saw ?, karena berdzikir secara sirran/pelahan sudah biasa dilakukan oleh perorangan !

    



 Imam An-Nawawi menyatukan dua hadits (jahar dan lirih) itu sebagaimana katanya: Membaca Al-Quran maupun berdzikir lebih afdhol/utama secara sirran/lirih bila orang yang membaca khawatir untuk riya’, atau mengganggu orang yang sedang sholat ditempat itu, atau orang yang sedang tidur. Diluar situasi seperti ini maka dzikir secara jahran/agak keras adalah lebih afdhol/baik. Karena dalam hal itu kadar amalannya lebih banyak daripada membaca  Al-Qur’an atau dzikir secara lirih/sirran.

 Selain itu juga membaca Qur’an dan dzikir secara jahran/keras ini manfaatnya berdampak pada orang-orang yang mendengar, lebih konsentrasi atau memusatkan pendengarannya sendiri, membangkitkan hati pembaca sendiri, hasrat berdzikir lebih besar, menghilangkan rasa ngantuk dan lain lain. Menurut sebagian ulama bahwa beberapa bagian Al Quran lebih baik dibaca secara jahran, sedangkan bagian lainnya dibaca secara sirran. Bila membaca secara sirran akan menjenuhkan bacalah secara jahran dan bila secara jahar melelahkan maka bacalah secara lirih.

 Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata sebagai berikut :

 “Aku memilih untuk imam dan makmum agar keduanya berdzikir pada Allah sesudah salam dari shalat dari keduanya melakukan dzikir secara lirih kecuali imam yang menginginkan para makmum mengetahui kalimat-kalimat dzikirnya, maka dia boleh melakukan jahar sampai dia yakin bahwa para makmum itu sudah mengetahuinya kemudian diapun berdzikir secara sir lagi”.

 Dengan demikian tidak diketemukan dikalangan ulama Syafi’iyah pernyataan-pernyataan yang melarang atau mengharamkan dzikir secara jahar apalagi sampai memutuskannya dengan bid’ah !

 Mari kita rujuk riwayat hadits bahwa setan akan lari bila mendengar suara adzan atau iqamah, karena yang dibaca dalam adzan/iqamah kalimat dzikir dan sekaligus mencakup kalimat-kalimat tauhid juga, sebagaimana yang dibaca dalam kumpulan majlis-majlis dzikir (tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan sebagai- nya).

 Hadits nomer 581 riwayat Muslim sabda Rasul saw.: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan untuk sholat ia pergi menjauh sampai ke Rauha’, berkata Sulaiman; ‘Saya bertanya tentang Rauha’ itu,  jawab Nabi saw. jaraknya dari Madinah 36 mil’ “.

 Hadits nomer 582 riwayat Muslim dari Abu Hurairah : “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan sholat ia bersembunyi mencari perlindungan sehingga suara adzan itu tidak terdengarnya lagi. Tapi apabila setan itu mendengar iqamah, ia menjauh (lagi) sehingga suara iqamah tidak terdengar lagi. Namun apabila iqamah berakhir, setan kembail (lagi) melakukan waswasah, yaitu membisikkan bisikan jahat “.




Lihat hadits dari Mu’adz bin Jabal dan dua hadits diatas bahwa dengan baca Al-Qur’an waktu sholat malam secara jahar akan didengar oleh malaikat, jin-jin beriman dan lainnya, serta bisa mengusir setan-setan yang jahat dan durhaka. Walaupun hadits ini berkaitan dengan bacaan Al-Quran pada waktu sholat malam hari serta bacaan adzan dan iqomah, tapi inti/pokok bacaannya ialah sama yaitu pembacaan ayat Al-Quran dan bacaan kalimat-kalimat tauhid secara jahar.

 Perbedaannya adalah satu didalam keadaan sholat membacanya yang lain diluar waktu sholat, yang mana kedua-duanya bisa didengar oleh malaikat, jin dan mengusir setan. Juga berdasarkan hadits-hadits yang telah tercantum pada halaman sebelum ini, maka tidak ada saat bagi setan untuk memperdayai manusia selama manusia itu sering berdzikir karena dzikirnya itu bisa didengar oleh setan-setan tersebut. Maka dari itu Allah swt. sering memperingatkan dalam Al-Qur’an agar kita selalu berdzikir padaNya.

 Orang dianjurkan berdzikir setiap waktu dan pada setiap tempat baik dalam keadaan junub atau haid (kecuali baca ayat Al-Qur’an), sedang sibuk atau lenggang waktu, sedang berbaring atau duduk dan lain-lain. Itulah yang dimaksud ayat Allah swt. (An-Nisa:103) karena dzikir semacam ini boleh dilaksanakan terus menerus..

Lain halnya dengan sholat ada syarat dan waktu-waktu tertentu yang tidak boleh melakukan sholat, umpama: orang yang sedang haid, nifas, junub ( harus mandi dulu), sholat sunnah yang tidak ada maksudnya setelah sholat ashar/shubuh dan sebagainya. Begitu juga ibadah puasa akan batal bagi orang yang sedang haid, nifas atau junub dan hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa.

 Masih banyak lagi hadits mengenai kumpulan majlis dzikir yang  diamalkan kaum muslimin setelah usai sholat shubuh atau waktu-waktu lainnya. Amalan ini berasal dari sunnah yang benar ! Mereka berdzikir dengan suara yang jahar tapi bila ditempat mereka dzikir terdapat orang yang merasa terganggu umpama orang sedang sholat, atau ada orang tidur maka mereka akan melirihkan suaranya. Sebagian orang senang berdzikir secara agak keras untuk dapat memerangi bisikan busuk (was-was), godaan hawa nafsu, lebih konsentrasi tidak mudah lengah, dan langsung menyatukan ucapan lisan dengan hatinya, lebih khusyu’ apalagi dengan irama yang enak, menghilangkan ngantuk dan lain-lain. Masjid-masjid yang dijadikan tempat dzikir oleh kaum Sufi ini diantaranya  masjid Ar Ribath .

 Bagi juga bagi yang memilih dzikir secara sirran (lirih, pelan) untuk memudahkan perjuangan melawan hawa nafsu, melatih diri agar tidak berbau riya’ (mengharap pujian-pujian orang) dan menahan nafsu agar tidak menjadi orang yang terkenal. Terdapat riwayat Umar bin Khattab ra. berdzikir secara jahar/agak keras sedangkan sahabat Abubakar ra dengan suara lirih (sirran). Waktu mereka berdua ditanya oleh Rasul saw. mereka menjawab dengan penjelasan seperti diatas ini. Ternyata Rasul saw membenarkan mereka berdua ini !



Dengan adanya keterangan-keterangan diatas ini kita bisa menarik kesimpulan ada ulama yang senang berdzikir secara lirih dan ada yang lebih senang secara jahar, tergantung situasi sekitarnya dan pribadi masing-masing, bila situasi mengizinkan maka secara jahar itu lebih baik/afdhol.    

 Aturan (paling baik/tidak wajib) dalam dzikir menurut Syaikh ‘Ali Al-Marshafy rh dalam kitabnya Manhajus Shalih mengatakan diantaranya sebagai berikut :

 A.  Kita selalu dalam keadaan bersih yakni mandi dan berwudu’, menghadap kiblat (kalau bisa), duduk ditempat yang suci (bukan najis).

 B. Orang agar sepenuhnya konsentrasi (penuh perhatian) dengan hatinya mengenai dzikir yang dibaca itu.

 C.  Tempat dzikir tersebut ditaburi dengan minyak wangi.

 D.  Berdzikir dengan ikhlas karena Allah swt.                                        

 Dan masih banyak yang beliau anjurkan cara yang terbaik untuk berdzikir tapi empat diatas itu cukup buat kita agar tercapainya dzikir itu, sehingga kita bisa menikmatinya dan menenangkan jiwa. Yang dimaksud Syaikh ‘Ali Al Marshafy ditaburi minyak wangi pada tempat dzikir  ialah agar tempat dzikir tersebut semerbak wangi baunya. Dalam hal ini dibolehkan semua jenis bahan yang bisa menimbulkan bau harum umpama minyak wangi,  sebangsa kayu-kayuan (gahru dan sebagainya) atau menyan Arab yang kalau dibakar asapnya berbau wangi, karena disamping bau-bauan ini lebih mengkhusyukkan/ mengkonsentrasikan, menyegarkan pribadi orang itu atau para hadirin, juga menyenangkan malaikat-malaikat dan jin-jin yang beriman yang hadir di majlis dzikir ini. Bau harum ini malah lebih diperlukan bila berada diruangan yang banyak dihadiri oleh manusia agar berbau semerbak ruangan tersebut. Gahru, uluwwah atau menyan ini banyak dijual baik di Indonesia, Mekkah, Medinah maupun dinegara lainnya. Yang paling mahal harganya adalah Gahru kwaliteit istemewa.

 Mari kita baca hadits Nabi saw mengenai wangi- wangian diantaranya:

 Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasul saw bersabda: ‘Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah ditolak, karena ia mudah dibawa dan semerbak harumnya”.   (HR.Muslim, Nasa’I dan Abu Dawud)

 Ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’i: “Adakalanya Ibnu Umar ra.membakar uluwwah tanpa campuran, dan adakalanya kapur barus yang dicampur dengan uluwwah seraya berkata: ‘Beginilah Rasulullah saw. mengasapi dirinya’.”

 Begitu juga zaman sekarang di masjid Madinah setiap usai sholat Isya’ terutama pada bulan suci Ramadhan di tempat Raudhah (antara Rumah dan Mimbar Rasul saw.) dan disekitar Mimbar Rasul saw. selalu diasapi kayu gahru. Bagi orang-orang yang pernah hadir di tempat ini pada waktu tertentu itu insya Allah bisa menyaksikan serta menikmati bau-bauan harum tersebut. Padahal kalau kita lihat negara Saudi Arabia banyak disana golongan wahabi/ salafi yang sering mengeritik dan membuat ceritera atau mengisukan yang tidak-tidak terhadap golongan muslimin yang membakar dupa/gahru waktu mengadakan majlis dzikir. Diantara golongan wahabi dan pengikutnya ini ada yang mengatakan pembakaran dupa/gahru dan sebagainya waktu sedang berkumpul berdzikir maupun sendirian untuk mendatangkan setan-setan dan lain-lain !
 Tetapi kalau kita baca hadits Nabi saw. setan malah lari mendengar bacaan dzikir itu, dan senang bersemayam dirumah dan diri orang yang tidak mengadakan majlis dzikir. Lihatlah, karena kedengkian golongan tertentu pada majlis dzikir ini , mereka membuat fitnah dan mengadakan khurafat-khurafat (tahayul) yang dikarang-karang sendiri, agar manusia mengikuti faham mereka dan tidak menghadiri majlis dzikir tersebut. Mengapa mereka tidak berkata pada sipenjual Gahru, menyan arab di Mekkah dan Medinah bahwa itu haram, khurafat karena bisa mendatangkan setan-setan?
 Dalil mereka yang melarang dzikir secara jahar
 Buat golongan majlis dzikir sudah cukup hadits-hadits dan wejangan ulama-ulama pakar mengenai dibolehkannya dzikir secara jahar seperti yang penulis kutip dibuku ini tetapi bagi golongan pengingkar majlis (kumpulan) dzikir secara jahar selalu mengajukan dalil-dalil yang menurut mereka dalil tersebut sebagai larangan/haramnya orang berkumpul berdzikir secara jahar. Mari kita baca dalil mereka untuk masalah ini :
        Firman Allah swt (Al ‘Araf : 204) : ‘Dan apabila dibacakan (kepadamu) ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu diberikan rahmat’. Ayat ini dibuat dalil oleh mereka untuk melarang  pembacaan Al-Qur’an secara bersama, yang di amalkan orang-orang pada majlis dzikir (Istighothah, tahlilan, yasinan dan lain lain).
 Sudah tentu pemikiran seperti ini tidak  bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Makna atau yang dimaksud firman Allah swt. itu ialah: Bila ada orang membaca Al-Qur’an sedangkan orang lainnya tidak ikut membaca bersama orang tersebut, maka yang tidak ikut membaca ini di anjurkan untuk mendengarkan serta memperhatikan bacaan Al Qur’an tersebut agar mereka juga mendapat pahala dan rahmat dari Allah swt. Jadi bukan berarti ayat ini melarang orang bersama-sama membaca Al-Quran dalam kumpulan majlis dzikir ! Karena cukup banyak hadits yang menjanjikan pahala bagi orang yang membaca Al-Quran baik membacanya secara berkelompok maupun perorangan, serta tidak ada nash baik dalam Al-Quran maupun Sunnah yang melarang membaca Al-Quran secara bersama-sama ! Malah justru mendapat pahala bagi yang membacanya !.
          Mereka berdalil juga pada firman Allah Al-A’raf :205 yang berbunyi : ‘Dan  ingatlah Tuhanmu didalam hatimu sambil merendahkan diri dan merasa takut serta tidak dengan suara keras (yang berlebihan) dipagi maupun sore hari’.



Ayat diatas juga tidak bisa dibuat dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar sebenarnya yang dimaksud ayat ini adalah untuk orang-orang yang sedang mendengarkan Al-Quran yang sedang dibaca oleh orang lain sebagaimana ditunjukkan oleh ayat sebelumnya yaitu surat Al-A’raaf : 204.

Dengan demikian, makna surat Al-A’raf : 205 adalah : ‘Berdzikirlah kepada Tuhanmu didalam hati (wahai orang yang memperhatikan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an) dengan merendahkan diri serta rasa takut’.

 Seperti ini pula makna yang dikehendaki oleh ulama pakar diantaranya : Ibnu Jarir, Abu Syaikh dari Ibnu Zaed. Sedangkan Imam Suyuthi dalam kitabnya Natijatul Fikri berkata: Ketika Allah swt. memerintahkan untuk inshot (memperhatikan bacaan Al Qur’an) dikhawatirkan terjadinya kelalaian dari mengingat Allah swt. Maka dari itu disamping perintah inshot dzikir didalam hati tetap dibebankan agar tidak terjadi kelalaian mengingat Allah swt. Karenanya ayat tersebut diakhiri dengan ‘Dan janganlah kamu termasuk diantara orang-orang yang lalai’. (baca keterangan pada halaman sebelum ini)

 Menurut Imam Ar-Rozi bahwa ayat Al A’raf : 205  justru menetapkan dzikir dengan jahar yang tidak berlebihan, bukan malah mencegahnya karena disitu disebut juga  ‘...dan bukan dengan jahar yang berlebihan...’ Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuntutan ayat itu adalah ’melakukan dzikir antara sir dan jahar yang berlebihan’ makna  yang demikian sesuai dan dikuatkan oleh firman Allah swt  dalam surat Al-Isro’: 110 yang berbunyi : ‘Janganlah kamu mengeraskan suara dalam berdo’a dan janganlah pula kamu melirihkannya melainkan carilah jalan tengah diantara yang demikian itu’.

           Golongan pengingkar ini juga berdalil pada hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hambal, Ibnu Marduwaih dan Al-Baihaqi dari Abu Musa Al-Asy’ari ra yang berkata :

 “Kami pernah bersama Rasulallah saw. dalam sebuah peperangan, maka terjadilah satu keadaan dimana kami tidaklah menuruni lembah dan tidak pula mendaki bukit kecuali kami mengeras kan suara takbir kami. Maka mendekatlah Rasulallah saw. kepada kami dan bersabda: ‘Lemah lembutlah kalian dalam bersuara karena yang kalian seru bukanlah zat yang tuli atau tidak ada. Hanyalah yang kalian seru adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya yang kalian seru itu lebih dekat kepadamu ketimbang leher-leher onta tungganganmu’“.                                                                 

 Hadits ini tercantum dalam kitab-kitab hadits yang enam.  Imam Turmudzi dalam bab Fadhlut Tasbih menyebutkan juga hadits dari Abu Musa al-Asy’ari yang senada tapi sedikit berbeda dan ditambah dengan sabda Rasul saw. “Wahai Abdullah bin Qais, maukah kamu aku beritahukan sebagian dari perbendaharaan sorga...? Dialah : ‘Laa Haulaa Walaa Quwwata Illa Billah’ “. Turmudzi berkata : Ini adalah hadits yang shohih.



Golongan ini berkata: Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir ..?, padahal hadits diatas memerintahkan untuk merendahkan suara diketika berdzikir karena Zat yang didzikirkan yakni Allah swt. bukan Zat yang tuli, bukan Zat yang tidak ada bahkan ilmu dan kekuasanNya ada dihadapan kita ! Dia lebih dekat kepada kita dibanding leher-leher onta tunggang an kita !

 Alasan inipun tidak tepat untuk dijadikan dalil melarang atau mengharamkan semua bentuk dzikir jahar, perintah irba’uu dihadits tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar. Hal ini karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Berdasarkan inilah maka Syeikh Ad-Dahlawi dalam Al-Lama’aat Syarhul Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat dimana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak disyariatkan !

 Kalau sekiranya Rasul saw. tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras pada waktu peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir yang berlebihan itu sewaktu dalam perjalanan adalah disunnatkan, karena perbuatan mereka itu didiamkan/diridhoi oleh Rasul saw.. Padahal kesunnatan yang seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau saw. karena pada saat itu sedang dalam perjalanan perang menuju Khaibar dan mengeraskan dzikir seperti itu tidak ada mashlahatnya/ kebaikannya, bahkan bisa menimbulkan bencana kalau sampai didengar oleh musuh orang-orang kafir. Terlebih-lebih ada hadits mengatakan ‘Perang itu adalah satu tipu daya’.

 Begitupun juga beliau saw. melarang mereka supaya nantinya tidak merasa lebih lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Beginilah juga yang diterangkan  oleh Al-Bazzaazi makna pelarangan pengerasan suara pada waktu itu. Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Daud mengatakan bahwa kata-kata rofa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itu tidaklah menuntut terlarangnya menjaharkan dzikir secara mutlak ! Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebihan sebagaimana ditunjukkan oleh kaitan larangan itu dalam beberapa riwayat.

 Begitu juga bila hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas ini dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar maka akan berlawanan dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan dzikir secara jahar (silahkan baca keterangan sebelumnya).

 Sebelum ini sudah saya kutip sebagian fatwa seorang ulama yang diandalkan oleh golongan ini yaitu Ibnu Taimiyah didalam kitabnya Majmu’at fatawa edisi Raja Saudi Arabi Malik Khalid bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai berikut:

 “Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir (secara jahar), membaca al-Quran berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun menunjuk-nunjuk tetapi hanyalah karena hendak mendekat- kan diri kepada Allah swt. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab, ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semua- nya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari'a (agama) untuk berkumpul dan membaca al-Quran dan berdzikir serta berdo’a’."

        Sebagian golongan ini juga melarang kumpulan majlis dzikir dengan berdalil suatu riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. mencambuk suatu kaum yang berkumpul karena kaum ini berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin ! Dengan demikian mereka melarang semua bentuk berdzikir secara jahar.

 Umpama riwayat tersebut benar-benar ada dan shohih, kita harus meneliti dahulu apa sebab Umar bin Khattab ra melarang mereka berkumpul untuk berdo’a kebaikan tersebut, sehingga tidak langsung menghukum semua berkumpulnya manusia untuk do’a kebaikan itu dilarang. Dengan demikian nantinya riwayat ini berlawanan dengan firman Allah swt (hadits Qudsi) dan hadits-hadits Rasul saw mengenai keutamaan berdo’a dan halaqat (kumpulan dzikir) ! Dzikir dan do’a itu termasuk amalan ibadah yang sangat dianjurkan baik oleh Allah swt. maupun Rasul saw.. Tidak ada penentuan/ kewajiban dalam syariat tentang cara-cara berdzikir dan berdo’a boleh dilakukan secara berkumpul ataupun secara individu !

 Penafsiran mereka seperti itu adalah sangat sembrono sekali, karena ini bisa mengakibatkan orang akan merendahkan sifat Umar bin Khattab, sehingga orang-orang non muslim maupun muslim akan mensadiskan beliau karena mencambuk (tanpa alasan yang tepat) orang yang berkumpul hanya karena berdo’a kebaikan untuk muslimin dan pemimpinnya. Hati-hatilah!

        Juga golongan ini mengatakan ada riwayat dari Bukhori yang berkata ada suatu kaum/kelompok setelah melaksanakan sholat Magrib seorang dari mereka berkata: “Bertakbirlah kalian semua pada Allah seperti ini…. bertasbihlah seperti ini….dan bertahmidlah seperti ini…maka Ibnu Mas’ud ra mendatangi orang ini dan berkata:….sungguh kalian telah datang dengan perkataan bid’ah yang keji atau kalian telah menganggap lebih mengetahui dari sahabat Nabi.”
 Riwayat diatas ini dibuat juga oleh golongan pengingkar sebagai dalil untuk melarang semua kumpulan majlis dzikir, alasan seperti ini juga tidak tepat sama sekali. Pertama kita harus mengetahui dahulu kalimat takbir, tasbih atau tahmid apa yang diperintahkan orang tersebut pada sekelompok muslimin itu. Kedua umpama bacaan takbir, tasbih, tahmid serta cara pemberitahuan sesuai yang dianjurkan oleh Nabi saw. maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud ra akan melarangnya, karena Rasul saw. sendiri meridhoi dan menganjurkan dzikir berkelompok. Ketiga, kelompok tersebut belum melakukan dzikir yang diperintahkan oleh orang itu, oleh karenanya Ibnu Mas’ud bukan tidak menyenangi kumpulan dzikir dan bacaannya tapi beliau tidak menyenangi cara pemberitahuan orang tersebut kepada kelompok itu, yang seakan-akan mewajibkan kelompok tersebut untuk mengamalkan hal tersebut, karena dzikir adalah amalan-amalan sunnah/bukan wajib !!



Jadi janganlah kita main pukul rata mengharamkan semua jenis kelompok dzikir secara jahar karena larangan sebagian sahabat pada kelompok manusia tertentu, tapi kita harus meneliti motif atau sebab apa dzikir tersebut pada waktu itu dilarang oleh sahabat. Dengan demikian kita tidak akan kebingungan atau kesulitan untuk mengamalkan hadits Rasul saw. lainnya yang membolehkan untuk berdzikir secara jahar dan berkelompok, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ulama-ulama pakar Imam Nawawi, Ibnu Hajr , Imam Suyuthi serta lain-lainnya dan hadits-hadits yang telah saya kutip dibuku ini.

 Berdzikir baik secara jahar maupun lirih kedua-duanya mempunyai dalil dan semuanya mustahab/baik. Begitu juga bila ada sebagian ulama pakar tidak menyenangi berdzikir secara jahar atau secara lirih itu tidak berarti semua dzikir secara jahar atau lirih itu haram diamalkan ! Tidak lain hal tersebut tergantung pada pribadi ulama itu masing-masing atau tergantung pada situasi lokasi dan tempat untuk berdzikir tersebut.

 Saya tambahkan lagi hadits yang shohih menganjurkan manusia untuk membaca Talbiyah dan Tahlil secara jahar pada waktu musim haji, yang mana Talbiyah dan Tahlil juga termasuk dzikir pada Allah swt. Hadits dari Khalad bin Sa’id Al Anshori dari Bapaknya bahwa Nabi saw bersabda:

 “Jibril datang kepadaku lalu menyuruhku untuk memerintahkan kepada sahabatku atau kepada orang-orang yang bersamaku agar mengeraskan suara dengan Talbiyah dan tahlil”. ( Riwayat Abu Dawud nr.1797, Tirmidzi nr.829, Nasa’i dalam bab mengeraskan suara ketika berihram, Ibnu Majah nr.2364, Imam Malik dalam Al Muwattha hadits nr.34). Menurut Imam Syafii  Takbir dan Tahlil dalam haji ini boleh diamalkan secara jahar baik dimasjidil Haram atau dilapangan.

 Kalau dzikir Talbiyah dan Tahlil secara jahar yang dilakukan oleh berjuta-juta jamaah haji secara berkelompok-kelompok malah dianjurkan dan tidak dilarang, apalagi dzikir secara jahar yang hanya dilakukan oleh kelompok lebih sedikit jumlahnya dari itu, apa salahnya dalam hal ini..?. Wallahu a'lam.

 Contoh zaman sekarang yang bisa kita dengar dan beli kaset-kaset al-Qur’an, qosidah-qosidah (bacaan sholawat Nabi saw. dan lain-lain) semuanya termasuk dzikir yang dijual dan dikumandangkan diseluruh dunia Saudi Arabia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Marokko, Mesir dan lain lain baik di negara yang anti maupun yang senang bacaan dzikir secara jahar. Kalau semua ini misalnya mungkar dan dilarang maka akan ditegur atau dikecam oleh ulama-ulama pakar di negara tersebut. Tapi sampai detik ini tetap berjalan dan malah lebih banyak lagi toko-toko yang jual kaset-kaset tersebut karena banyak peminatnya.




Insya Allah dengan beberapa firman Allah swt. serta hadits-hadits diatas kita dapat mengambil manfaatnya dan mengerti serta jelas apa yang dianjurkan oleh Allah swt. melalui perantara junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Dengan demikian insya Allah saudara-saudara kita muslimin yang belum pernah menghadiri atau mendapat kesalahan informasi mengenai kumpulan dzikir, baca tahlil/yasinan dan sebagainya ini akan diberi taufiq oleh Allah swt. serta bisa menghadiri majlis dzikir yang penuh berkah atau setidaknya tidak akan mencela, mensyirikkan dan mensesatkan orang yang mengamalkan ini, tidak lain hanya akan menambah dosa saja.Dengan demikian hubungan silatorrohmi dengan saudara-saudara muslimin lainnya tidak akan terputus.

 Tambahan... Dalil Tentang Hadits Dzikir (Termasuk yg Jahar)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling, mereka mengikuti majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemui majelis yang didalamnya ada dzikir, maka mereka duduk bersama-sama orang yang berdzikir, mereka mengelilingi para jamaah itu dengan sayap-sayap mereka, sehingga memenuhi ruangan antara mereka dengan langit dunia, jika para jamaah itu selesai maka mereka naik ke langit (HR Bukhari no. 6408 dan Muslim no. 2689)

       Abdullah Ibnu Abas r.a berkata: “semasa zaman kehidupan Rosulullah(SAW) adalah menjadi kebiasaan untuk orang ramai berdzikir dengan suara yang kuat selepas berakhirnya sholat berjamaah(HR.Bukhori)

       Abdullah Ibnu Abas r.a berkata:”Apabila aku mendengar ucapan dzikir, aku dapat mengetahui bahwa sholat berjamaah telah berakhir(HR.Bukhori)

       Abdullah Ibnu Zubair r.a berkata:”Rasululloh(SAW) apabila melakukan salam daripada solatnya, mengucap doa/zikir berikut dengan suara yang keras-”La ilaha illallah…”(Musnad Syafi’i)

       Sahabat Umar bin Khattab selalu membaca wirid dengan suara lantang, berbeda dengan Sahabat Abu Bakar yang wiridan dengan suara pelan. Suatu ketika nabi menghampiri mereka berdua, dan nabi lalu bersabda: Kalian membaca sesuai dengan yang aku sampaikan. (Lihat al-Fatâwâ al-hadîtsiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, hal 56)...jazaakumullah sahabatku Fillah.


Dzikir Berjamaah Sejak Zaman Rosul SAW

oleh K. H. Muhammad Arifin Ilham pada 01 Oktober 2010 jam 22:27

Sekte wahabi muncul pada abad 14 hijriah, mereka ini merupakan penyakit dalam tubuh muslimin yg telah menyerang hampir seluruh Negara muslimin dimuka bumi. Mereka ini selalu mengada adakan dan mempermasalahkan hal hal yg tidak pernah dipermasalahkan oleh Ulama Besar, Para Imam, para Tabi’in, para sahabat, bahkan Rasul saw. Hal ini, tidak mengakategorikan Ibn Abdulwahhab sebagai Imam Madzhab, karena seorang Imam Madzhab adalah orang yg suci dari mencaci maki muslimin, apalagi menganggap musyrik pada ahli syahadat, atau menganggap perbuatan sahabat rasul radhiyallahu’anhum adalah Bid?ah munkarah. Imam madzhab adalah pewaris Rasul saw, orang yg berjiwa arif dan lidahnya selalu basah berdzikir kepada Allah, mendoakan yg sesat, mendoakan hidayah bagi orang kafir, demikian pulalah Lidah Rasul saw.

Dzikir berjamaah sejak zaman Rasul saw, sahabat, tabi’in tak pernah dipermasalahkan, bahkan merupakan sunnah rasul saw, dan pula secara akal sehat, semua orang mukmin akan asyik berdzikir, dan hanya syaitan yg benci akan hangus terbakar dan tak tahan mendengar suara dzikir. kita bisa bandingkan mereka ini dari kelompok mukmin, atau kelompok syaitan yg sesat.., dengan cara mereka yg memprotes dzikir jamaah, telinga mereka panas, dan ingin segera kabur bila mendengar jamaah berdzikir.

1). para sahabat berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu?anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan : “HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN..”. (Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq). Perlu diketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ia adalah Tabi’in.

2). saat membangun Masjidirrasul saw : mereka bersemangat sambil bersenandung : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah” setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah.. ” (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina’ masjidissyarif hal 116)

3). ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam shahihain

4). Firman Allah swt : “SABARKANLAH DIRIMU BERSAMA KELOMPOK ORANG ORANG YG BERDOA PADA TUHAN MEREKA SIANG DAN MALAM SEMATA MATA MENGINGINKAN KERIDHOAN NYA, DAN JANGANLAH KAU JAUHKAN PANDANGANMU (dari mereka), UNTUK MENGINGINKAN KEDUNIAWIAN.” (QS Alkahfi 28) Ayat ini turun ketika Salman Alfarisi ra berdzikir bersama para sahabat, maka Allah memerintahkan Rasul saw dan seluruh ummatnya duduk untuk menghormati orang2 yg berdzikir. Mereka (sekte wahabi) mengatakan bahwa ini tidak teriwayatkan bentuk dan tata cara dzikirnya, ah..ah?ah.. 

Dzikir ya sudah jelas dzikir.., menyebut nama Allah, mengingat Allah swt, adakah lagi ingin dicari pemahaman lain?,

5). Sahabat Rasul radhiyallahu’anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya merekapun shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah.., Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar, ah..ah..ah.. mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini..,

maka kalau ada pertanyaan : “siapakah yg pertama kali mengajarkan Bid’ah hasanah?, maka kita dengan mudah menjawab, yg pertama kali mengajarkannya adalah para Sahabat Rasul saw, karena saat itu Umar ra setelah bersepakat dengan seluruh sahabat untuk jamaah tarawih, lalu Umar ra berkata : “WA NI’MAL BID’AH HADZIH..”. (inilah Bid’ah yg terindah). Siapa lebih tahu makna menghindari bid’ah?, Umar bin Khattab ra, makhluk nomer dua paling mulia di ummat ini bersama seluruh sahabat radhiyallahu’anhum.., atau madzhab sempalan abad ke 20 ini.

6). Lalu para tabi’in sebab cinta mereka pada sahabat, maka mereka menggelari setiap menyebut nama sahabat dengan ucapan Radhiyalahu’anhu/ha/hum. Inipun tak pernah diajarkan oleh Rasul saw, tak pula pernah diajarkan oleh sahabat, walaupun itu berdalilkan beberapa ayat didalam alqur’an bahwa bagi mereka itu kerdhoan Allah, namun tak pernah ada perintah dari Rasul saw untuk menggelari setiap nama sahabat beliau saw dg ucapan radhiyallahu’anhu/ha/hum. Inipun Bid’ah hasanah, kita mengikuti Tabi’in mengucapkannya krn cinta kita pd Sahabat.

7). Khalifah Umar bin Abdul Aziz menambahkan lagi dengan menyebut nyebut nama para Khulafa?urrasyidin dalam khotbah kedua pada khutbah jumat, Ied dll.., inipun bid?ah, tak pernah diperbuat oleh para Tabi’in, Sahabat, bahkan Rasul saw, namun diada adakan karena telah banyak kaum mu’tazilah yg mencaci sahabat dan melaknat para Khulafa’urrasyidin, maka hal ini mustahab saja, (baik dilakukan), tak ada pula yg benci dengan hal ini kecuali syaitan dan para tentaranya.
Lalu kategori Bid’ah ini pun muncul entah darimana?, membawa hadits : “Semua Bid'ah adalah sesat dan semua sesat adalah di neraka”. Menimpakan hadits ini pada kelompok sahabat. Ah..ah..ah… adakah seorang muslim mengatakan orang yg memanggil nama Allah Yang Maha Tunggal, menyebut nama Allah dengan takdhim, berdoa dan bermunajat, mereka ini sesat dan di neraka?, Orang yg berpendapat ini berarti ia telah mengatakan seluruh nama nama diatas adalah penduduk neraka termasuk Umar bin Khattab ra dan seluruh sahabat, dan seluruh tabi?in, dan seluruh ulama ahlussunnah waljama’ah termasuk Sayyidina Muhammad saw, yg juga diperintah Allah untuk duduk bersama kelompok orang yg berdoa, dan beliau lah saw yg mengajarkan doa bersama sama.



Kita di Majelis Majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka..

Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal?, menggemakan nama Allah?, apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi?.??!! Seribu dalil mereka cari agar Nama Allah tak lagi dikumandangkan.. cukup berbisik bisik..!, sama dengan komunis yg melarang meneriakkan nama Allah, dan melarang kumpulan dzikir.. Adakah kita masih bisa menganggap kelompok wahabi ini adalah madzhab..?!!

Kita Ahlussunnah waljama?ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama. Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman : “BILA IA (HAMBAKU) MENYEBUT NAMAKU DALAM DIRINYA, MAKA AKU MENGINGATNYA DALAM DIRIKU, BILA MEREKA MENYEBUT NAMAKAU DALAM KELOMPOK BESAR, MAKA AKUPUN MENYEBUT (membanggakan) NAMA MEREKA DALAM KELOMPOK YG LEBIH BESAR DAN LEBIH MULIA”. (HR Bukhari Muslim).

Saran saya, kita doakan saja madzhab sempalan abad ke 20 ini, agar mereka diberi hidayah dan kembali kepada kebenaran. Wahai Allah, telah terkotori permukaan Bumi Mu dengan sanubari sanubari yg disesatkan syaitan, maka hujankanlah hidayah Mu pada mereka agar mereka mau kembali pd kebenaran, beridolakan sang Nabi saw, beridolakan Muhajirin dan Anshar, berakhlak dengan akhlak mereka, sopan dan rendah hati sebagaimana mereka. Demi Kemuliaan Ramadhan, Demi Kemuliaan Shiyaam walqiyaam, Demi Kemuliaan Nuzululqur’an, dan Demi Kemuliaan Muhammad Rasulullah saw, amiin.




Satu-satunya dasar penilaian tentang bid’ahnya dzikir bersama itu sesungguhnya hanyalah apa yang dikemukakan oleh Al-`Allamah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi As-Syathibi (beliau meninggal dunia pada th. 790 H, rahimahullah wa askanahu fi jannatihi ) dalam kitab beliau Al-I’tisham . Beliau menerangkan padanya:


“Dimanakah di dalam Al-Kitab (yakni Al-Qur’an, pent) atau di dalam As-Sunnah (yakni Al-Hadits, pent) yang memberitakan adanya perkumpulan orang untuk berdzikir dengan satu suara disertai suara yang terang dan keras. Padahal sungguh Allah Ta`ala telah berfirman: (artinya) Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan dengan tersembunyi. Sesungguhnya Dia tidak suka kepada orang yang melampaui batas. ( Surat Al-A’raf 55). Dan orang-orang yang melampaui batas sebagai disebutkan di ayat ini adalah orang-orang yang mengeraskan suara dalam berdoa.”


Selanjutnya As-Syathibi menukilkan sebuah riwayat:


“Dan dari Abi Musa, beliau menyatakan: “Pernah kami bersama Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam satu perjalanan. Waktu itu orang-orang pun menyuarakan dengan terang ucapan takbir. Maka Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda: .”


Kemudian beliau menerangkan sebagai berikut:


“Dan hadits ini adalah tafsir yang sempurna bagi ayat tersebut (yakni ayat ke 55 surat Al-A’raf, pent). Padahal para Shahabat tidaklah mengeraskan suara dengan satu suara secara serempak. Akan tetapi Beliau melarang mereka untuk meninggikan suara, agar mereka menunaikan perintah ayat ini. Dan telah datang riwayat dari Salaf pula, adanya larangan untuk berkumpul dalam rangka berdzikir dan berdoa dengan model seperti yang dilakukan oleh mereka para ahli bid’ah. Dan juga telah datang larangan dari mereka para Salaf, untuk menjadikan masjid-masjid sebagai tempat untuk menjalankan amalan itu (yakni dzikir dan doa bersama itu, pent). Yaitu sebagai tempat yang diistilahkan sebagai Rubat yang menyerupai As-Suffah (yakni tempat tinggalnya para Shahabat Nabi yang tidak punya tempat tinggal di Al-Madinah setelah hijrah kepadanya, pent). Disebutkan yang melarang demikian dari kalangan Salaf itu adalah Ibnu Wahhab dan Ibnu Wadldlah dan selain dari keduanya, yang semestinya mencukupi bagi mereka yang diberi taufiq oleh Allah.” Demikian As Syathibi menerangkan.


Yang ditentang oleh Al-`Allamah As-Syathibi dalam perkara dzikir bersama, bila disimpulkan dari keterangan di atas ialah dua perkara:


1). Dzikir dan doa yang dilakukan dengan bersuara. Jadi mestinya dzikir itu dilakukan dengan tanpa suara.


2). Dzikir dan doa yang dilakukan dengan satu komando dan bersama-sama. Jadi seharusnya dilakukan dengan sendiri-sendiri.


Perlu pembaca pahami bahwa dalam beragama itu haruslah dilakukan dengan berdasarkan dalil syar’i yaitu dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun omongan selain keduanya tidak dapat dinamakan dalil agama. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabdanya sebagai berikut:


“Aku tinggalkan di kalangan kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat, selama kalian berpegang dengan keduanya. Yaitu Kitab Allah (yakni Al-Qur’an, pent) dan Sunnah Rasul-Nya (Yakni Al-Hadits –pent).” (HR. Malik secara mursal dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas radliyallahu `anhu . Al-Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam As-Shahihah 1761)


Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam membimbing kita untuk berpegang dengan Sunnah para Khulafa’ur Rasyidin dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits, yaitu pemahaman dan pengamalan beliau-beliau terhadap keduanya. Hal ini telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sebagai berikut:


“Maka sesungguhnya siapa dari kalian yang hidup sepeninggalku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin sepeninggalku. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya juz 4 hal. 200 bab Fi Luzumil Sunnah no. 4607 dari Irbadl bin Sariyah, dan Ahmad dalam Musnad nya juz 4 hal. 126 – 127, At-Tirmidzi bab Ma Ja`a fil Akhadzi bis-Sunnah wajtanaabul Bida` juz 5 hal. 44 no. 2676, Ibnu Majah bab Ittiba’u Sunnatal Khulafaa’ juz 1 hal. 15 – 16 no. 42 – 44 dan Ibnu Jarir dalam Jamu’ul Bayan 212, Ad-Darimi dan Al-Baghawi dan Ibnu Abi `Ashim dalam As-Sunnah juz 1 hal. 205 no. 102)


Dengan demikian, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan pernyataan para Ulama’ untuk menghukumi suatu masalah tanpa meneliti dalil yang dikemukan dalam pernyataan itu. Karena setiap Ulama’ tidak akan lepas dari kemungkinan salah dalam fatwanya, sebagaimana biasanya manusia biasa. Tabiat salah pada manusia itu telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabda beliau sebagai berikut:


“Semua anak Adam banyak bersalah, dan sebaik-baik orang yang banyak bersalah adalah yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad )


Maka dengan berdasarkan sabda beliau ini, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menyatakan:


“Semua omongan, bisa diambil dan bisa ditolak. Kecuali omongan penghuni kubur ini”. Sembari beliau mengisyaratkan jari telunjuknya ke kubur Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .(Atsar riwayat Ibnu Abdul Hadi dalam Irsyadus Suluk juz 1 hal. 227 dan Ibnu Abdil Bar dalam al-Jami` juz 2 / 91)


Demikian pula sikap kita terhadap keterangan Al-`Allamah As-Syathibi rahimahullah dalam perkara ini. Kita memeriksa dalil-dalil beliau dengan bimbingan para Ulama’ sehingga kita memandang segala sesuatu itu dengan cara ilmiah dan bukan ikut-ikutan sebagai simbol beragama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Maka keterangan As-Syathibi bila kita periksa dengan keterangan para Ulama’ yang lainnya adalah sebagai berikut:


1). Tentang dzikir dengan bersuara yang dianggap oleh beliau sebagai perbuatan bid’ah, maka dalam hal ini ada hadits dan keterangan Ulama’ yang menyelisihi beliau. Adapun haditsnya adalah sebagai berikut:


“Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda: Allah Ta`ala berfirman: Aku sesuai dengan dugaan hamba-Ku terhadap-Ku. Dan Aku bersama hamba-Ku apabila dia berdzikir kepada-Ku. Maka bila hamba-Ku berdzikir kepada-Ku dengan tersembunyi pada dirinya, maka Aku akan mengingatnya dengan sendirian. Dan bila hamba-Ku berdzikir kepada-Ku di depan halayak ramai, maka Aku akan menyebutnya di hadapan halayak yang lebih dari halayaknya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu dan Muslim dalam Shahih keduanya).


Dalam menjelaskan makna hadits ini, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menerangkan: “Yang dimaksud dengan berdzikir di depan khalayak ramai itu adalah berdzikir dengan berjamaah.”


Kemudian beliau menerangkan lebih lanjut: “Sebagian Ulama’ mengatakan bahwa dari hadits ini diambil pengertian bahwa dzikir khafiy (yakni dengan tersembunyi, pent) itu lebih utama dari dzikir jahriy (yakni berdzikir dengan bersuara).” Demikian Ibnu Hajar menerangkan. Maka dari apa yang dinukil oleh Ibnu Hajar tersebut, dan juga dari ijtihad beliau sendiri dari hadits ini, kita dapat kejelasan bahwa dzikir dengan bersuara itu bukanlah sesuatu yang terlarang. Tetapi dzikir dengan tersembunyi tanpa bersuara itu yang lebih utama dari dzikir dengan bersuara. Juga kita mendapati pengertian bahwa Ibnu Hajar telah berijtihad dengan mengambil pengertian dari hadits ini, bahwa dzikir itu ada yang dilakukan dengan sendiri-sendiri dan ada pula dengan berjamaah.


Adapun dalil yang dikemukakan oleh As-Syathibi yang daripadanya diambil pengertian beliau bahwa dzikir dengan bersuara itu adalah terlarang, lebih-lebih lagi kalau dilakukan dengan berjama’ah, maka pengertian tersebut perlu ditinjau kembali dengan keterangan para Ulama’ yang lainnya. Dalam hal ini saya nukilkan keterangan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam menerangkan pengertian hadits tersebut:


“Maka dalam hadits ini ada anjuran untuk merendahkan suara dalam berdzikir apabila tidak ada keperluan untuk mengeraskannya. Karena bila dzikir itu dilirihkan suaranya, maka akan lebih utama dalam memuliakan dan mengagungkan Allah. Tetapi bila diperlukan untuk mengeraskannya, maka dzikir itupun dikeraskan, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits.” Demikian Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan.


2). Telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma , bagaimana para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam berdzikir ketika selesai menunaikan shalat. Riwayatnya adalah sebagai berikut ini:


“Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma menceritakan adanya dzikir sesudah shalat dengan suara yang keras di jaman Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Ibnu Abbas menyatakan: Aku mengerti kalau orang-orang itu telah selesai menunaikan shalat ketika aku mendengar suara dzikir itu.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).


Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menerangkan: “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya mengeraskan suara ketika berdzikir sesudah shalat.”


Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menerangkan tentang komentar Ibnu Hajar tersebut di atas sebagai berikut: “Seandainya Ibnu Hajar menyatakan: ‘Dalam hadits ini menunjukkan disyariatkannya dzikir dengan suara keras, niscaya tentu lebih benar lagi.”


Demikianlah dalil kedua ini juga menunjukkan bahwa suara gemuruh takbir sesudah menunaikan shalat berjama’ah lima waktu. Maka tentunya dengan dalil ini, gugurlah pendapat As-Syathibi yang melarang dikeraskannya suara dzikir.


3). Riwayat Ibnu Mas’ud tentang larangan beliau terhadap sekelompok orang yang melakukan halaqah dzikir di Masjid dengan dipimpin oleh seorang dalam melafadhkan kalimat-kalimat dzikir sesungguhnya adalah riwayat yang lemah. Padahal riwayat ini adalah satu-satunya dalil bagi As-Syathibi rahimahullah untuk menganggap bid’ahnya dzikir berjamaah. Kelemahan riwayat tersebut keterangannya adalah sebagai berikut:


a). As-Syathibi menyatakan: “Telah diriwayatkan oleh Ibnu Wadl-dlah dari Al-A’masy dari sebagian sahabat beliau: Abdullah bin Mas’ud lewat pada seorang yang sedang bercerita di depan para murid-muridnya dan orang ini menyatakan kepada mereka: . Maka berkatalah Abdullah:


Kelemahan riwayat ini karena dalam sanadnya terdapat rawi (yakni nara sumber) yang tidak diketahui, yaitu Al-A’masy tidak menyebutkan nama dari siapa beliau mendapatkan riwayat ini.


b). As-Syathibi menyatakan: “Dan telah diriwayatkan pula daripadanya bahwa seorang pria mengumpulkan orang-orang (di satu majlis) kemudian orang ini menyatakan kepada mereka: . Maka orang-orang di majlis itu pun mengucapkannya. Kemudian dia menyatakan kepada mereka: . Maka orang-orang di majlis itu mengatakannya. Maka lewatlah di hadapan mereka Abdullah bin Mas’ud radliyallahu `anhu , maka beliau menyatakan kepada mereka:


Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Wadl-dlah dalam kitab beliau Al-Bida’ dalam riwayat ke 20 dari jalan Al-Auza’i yang mendapatkan riwayat ini dari Abdah bin Abi Lubabah. Dan riwayat ini juga lemah karena Abdah ini tidak pernah bertemu Ibnu Mas’ud sehingga sanad riwayat ini tidak sambung sampai ke Ibnu Mas’ud.


c). Selanjutnya As-Syathibi menerangkan: “Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlah bahwa sekelompok orang di Kufah bertasbih dengan batu kerikil di Masjid. Maka Ibnu Mas’ud mendatangi mereka dan didapati setiap orang dari mereka membawa sekantong batu kerikil. Maka mereka terus-menerus menghitung bilangan dzikir mereka dengan kerikil itu sampai Ibnu Mas’ud mengusir mereka dari masjid, sembari menyatakan: “Sungguh kalian telah membikin perbuatan bid’ah dan kedhaliman, apakah kalian menyangka bahwa kalian lebih berilmu dari para Shahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .”


Riwayat ini juga lemah karena sanadnya terputus, berhubung rawi yang menjadi nara sumber berita tentang peristiwa tersebut bernama Sayyar Abul Hakam. Beliau ini tidak ketemu Ibnu Mas’ud yang berarti beliau tidak menyaksikan sendiri peristiwa tersebut. Akan tetapi ia mendengarnya dari nara sumber yang lainnya yang tidak disebutkan dalam riwayat ini. Sehingga riwayat ini dilemahkan oleh para Ulama.


Maka dengan kenyataan bahwa segenap riwayat pengingkaran Ibnu Mas’ud terhadap dzikir dengan berjamaah ini lemah, maka penilaian As-Syathibi tentang bid’ahnya perbuatan tersebut sangat dipertanyakan sisi akurasi keilmiahannya . Juga dengan kenyataan beberapa hadits shahih yang memberitakan adanya dzikir dengan bersuara, maka pendapat As-Syathibi yang mengatakan bahwa berdzikir itu haruslah dengan tanpa suara, adalah pendapat yang amat diragukan kebenarannya . Lalu kalau memang demikian, apakah pantas pendapat yang demikian ini dijadikan landasan dalam memvonis pelaku dzikir berjamaah itu sebagai ahli bid’ah atau orang yang melakukan perbuatan bid’ah? Tentu yang demikian ini tidak bisa diterima dalam prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun pendapat dan ijtihad Al-`Allamah As-Syathibi rahimahullah , tentu amat kita hargai sebagai suatu ijtihad. Namun kita dilarang ber taqlid (yakni mengikut dengan membabi buta) kepada As-Syathibi atau kepada siapapun. Dan yang terpenting pula dalam perkara ini ialah: janganlah kita membiasakan diri untuk bermudah-mudah memvonis satu perbuatan sebagai bid’ah atau bahkan memvonis orang sebagai ahli bid’ah. Tetapi seharusnya kita berupaya mengembangkan penelitian dan pemeriksaan terhadap keterangan para Ulama dalam segala masalah, sebelum pada akhirnya kita memutuskan dengan penuh keyakinan ilmiah tentang benar atau tidaknya masalah atau pendapat itu. Kalau ternyata kita tidak mampu melakukan penelitian terhadap keterangan para Ulama itu, maka sebaiknya kita diam dan tidak mengatakan apapun tentangnya.


Sumber : www.facebook.com
               ust. Muhammad Arifin Ilham